Melawan Prinsip Asal Bermanfaat

Melawan Prinsip Asal Bermanfaat
ilustrasi @shutterstock

Setiap saat kita memutuskan atau membiarkan diri menjalani (atau tidak menjalani) aktivitas tertentu: Membaca buku, scroll media sosial,  menyelesaikan pekerjaan, berkomunikasi dengan kawan lama, membalas email, bermain bersama anak, membuat rencana, menulis artikel, nge-game,  bergosip dengan teman, olah raga, belajar skill baru, meeting, dll.

Semuanya bisa memberikan sensasi sibuk.

Ambil satu contoh  scrolling media sosial. Niatnya hanya semenit cari info tertentu, tapi tidak terasa sudah 30 menit atau lebih. Info yang dicari malah belum dapat. Sering kan seperti ini?

Media sosial tentu ada manfaatnya. Bisa cari inspirasi, terhubung dengan teman atau followers, tahu tren/viral, agar tidak jadi kudet (kurang update).  Bukankah ini penting di era sosial?

Tapi sesekali kita perlu lakukan audit cost-benefit, apakah cost berupa waktu yang kita habiskan untuk media sosial sudah seimbang dengan benefit yang kita dapatkan? Idealnya, output (benefit) harus lebih besar dari input (cost).

Any-benefit trap

Menilai apakah sebuah aktivitas benar-benar penting sebenarnya mudah. Tapi dalam praktiknya aktivitas remeh temeh justru lebih sering mendominasi waktu kita.

Call Newport dalam bukunya Deep Work menyebut kondisi ini sebagai pola pikir any-benefit alias asal memberi manfaat.

Aktivitas yang kita pikir ada manfaatnya, tapi nyatanya manfaatnya hanya sedikit. Bahkan kadang lebih banyak ruginya.

Pola pikir asal bermanfaat inilah yang membuat kita bias pada pilihan-pilihan yang tidak efisien: Membeli barang yang tidak terlalu dibutuhkan, hingga menghabiskan waktu untuk aktivitas yang tidak ada hubungannya dengan tujuan atau prioritas hidup kita.

Tentukan Prioritas

Agar dapat keluar dari perangkap asal bermanfaat, Newport menyarankan untuk menentukan prioritas hidup.

Namanya juga prioritas, jumlahnya harus sedikit.

Pilih area penting dalam hidup. Misalnya sebagai kepala keluarga, bisa jadi prioritasnya adalah "Keluarga yang harmonis serta pendidikan/teladan terbaik untuk anak-anak". Untuk yang masih mahasiswa, misalnya "Optimal dalam akademik serta membekali diri dengan future skill dan pengalaman sebanyak mungkin".

Begitu prioritas atau tujuan sudah ditetapkan.  Akan lebih mudah untuk menentukan sebuah aktivitas bermanfaat atau tidak.

Sebagai contoh, dalam peran memimpin perusahaan, saya menetapkan prioritas "Menjadi pemimpin dan manajer yang semakin efektif".

Untuk mencapai prioritas ini, saya mementingkan aktivitas-aktivitas seperti:

  • Membaca (buku/referensi/hasil riset, dll)
  • Networking (mengembangkan sekaligus merawat)
  • Upskilling (ambil kelas/kursus tentang bisnis, manajerial, leadership)
  • Menulis (Keterampilan menulis menurut saya selalu bermanfaat, baik untuk diri sendiri maupun orang lain)
  • Olah raga (penting agar tetap bugar dan sehat, untuk mengimbangi aktifitas berpikir dan bekerja yang makin padat)

Di luar daftar aktivitas yang saya anggap penting di atas, saya akan lebih berhati-hati melakukan aktivitas lainnya. Misalnya menggunakan media sosial.

Tentu media sosial ada manfaatnya. Apalagi GNFI menggunakan media sosial sebagai saluran utama untuk menyebarkan konten, selain website. Tapi saya perlu benar-benar menjaga kesadaran bahwa media sosial adalah pencuri waktu yang lihai. Niatnya fokus untuk riset atau mencari informasi, malah bisa tersesat ke mana-mana tanpa makna.

Karena itu saya selektif memilih platform media sosial dan menggunakannya. Agar aktifitas ini tetap dapat menunjang prioritas yang sudah saya tetapkan.

Konteks organisasi

Bukan hanya untuk konteks pribadi, kemampuan menetapkan tujuan dan memilih aktivitas yang benar-benar penting  sangat berguna untuk organisasi atau usaha.

Kita mengenal prinsip Pareto: 80% hasil sebenarnya disebabkan oleh 20% usaha saja.  Artinya, secara statistik kita hanya punya 20% pilihan aktivitas yang akan benar-benar membuahkan hasil besar untuk tujuan organisasi.

Di luar itu, sangat mungkin hanya aktivitas yang menghasilkan "any-benefit".  Nice to have. Tidak apa-apa kita kerjakan, tapi jangan mencurahkan sumber daya sepenuhnya di sana.

Wahyu Aji

Wahyu Aji

Saat ini berperan sebagai CEO di GNFI. Interaksi dapat melalui aji@goodnews.id