Kalau Jurnalisme Ada yang Positif, Memangnya Ada yang Negatif?

Kalau Jurnalisme Ada yang Positif, Memangnya Ada yang Negatif?
ilustrasi @shutterstock

Mari langsung fokus pada pertanyaan yang jadi judul tulisan kali ini.

Kalau Anda merasa sudah punya pendapat, tidak apa-apa tidak melanjutkan baca. Mungkin akan lebih menarik kalau kita berdiskusi saja. Bisa melalui email atau kita janjian ngopi.

Tapi kalau Anda masih punya waktu untuk membaca, baiklah. Barangkali apa yang saya tulis ini bisa menjadi tambahan perspektif.

Bertepatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei kemarin, yang jadi puncak rangkaian ultah #13ersamaGNFI, GNFI mengadakan Diskusi "agak serius" tentang media. Judulnya: Membaca Arah Jurnalisme Positif dan Konstruktif.

Kami berdiskusi seru dengan empat pemimpin media "papan atas". Arif Zulkifli (CEO Tempo Inti Media sekaligus Anggota Dewan Pers), Uni Lubis (Pemimpin Redaksi IDN Times yang juga Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia), Anthoni Wongsono (Wakil Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia yang juga sebagai Deputy CEO Berita Satu Media Holdings), dan Akhmad Munir (Direktur Pemberitaan LKBN Antara).

Meskipun mengenai jurnalisme positif ini sekilas baik-baik saja, tapi saya memang sudah sejak lama merasakan kejanggalan.

Bukan apa-apa, kalau satu hal dilabeli "positif", pasti akan perlu versi "negatif"nya di sisi lain, bukan?

Nah, apakah jurnalisme juga begitu? Lalu seperti apa yang positif dan seperti apa yang negatif? Tentu urusannya tidak akan sederhana.

"Tentang definisi jurnalisme positif ini masih sangat bisa didebatkan. Sepengetahuan saya, yang ada itu konsep tentang jurnalisme konstruktif, tapi saya belum pernah menemukan konsep (ilmiah) tentang jurnalisme positif," Uni Lubis membuat diskusi kami menjadi lebih hangat.

GNFI sendiri beberapa kali dijadikan contoh dalam artikel-artikel, diskusi, maupun penelitian tentang  jurnalisme positif di Indonesia.

Tirto, misalnya, pernah menurunkan laporan berjudul "Good News is Good News: Membaca Tren Jurnalisme Positif". Beberapa media online lainnya secara jelas juga menuliskan "Jurnalisme Positif" sebagai latar belakang semangat sekaligus misi yang diusung, contohnya Timesindonesia dan BeritaBaik.

Dalam beberapa tahun perjalanannya, GNFI juga menjadi daya tarik bagi kalangan akademisi untuk menjadikannya sebagai bahan penelitian.

Kalau Anda googling,  masih ada beberapa penelitian yang masih bisa dilihat, antara lain: Penerapan Jurnalisme Positif dalam Pemberitaan Pada Media Good News From Indonesia, Kebijakan Redaksional Situs Berita Good News from Indonesia, Keberlangsungan Good News From Indonesia Sebagai Pelaku Jurnalisme Alternatif.

Ternyata jurnalisme positif bukan hanya banyak dilakukan oleh media alternatif. Berita Satu Media Holdings bahkan sampai mengeluarkan buku saku berjudul: Jurnalisme Positif, Panduan Kerja Para Jurnalis Berita Satu Holdings.

"Buku ini  wajib dibaca oleh setiap wartawan Berita Satu, terutama yang baru bergabung. Intinya, menurut kami jurnalisme positif merupakan jurnalisme yang beritikad baik dan mematuhi etika serta kaidah-kaidah jurnalistik." terang Anthoni Wongsono.

Dalam buku tersebut dituliskan: Jurnalisme positif muncul sebagai reaksi terhadap jurnalisme negatif, yakni jurnalisme yang menyuguhkan berita-berita tentang peristiwa dan pendapat dari sisi negatif. Dengan keyakinan bahwa ‘bad news is good news’, penganut jurnalisme negatif melihat berbagai masalah dari sisi negatif semata dan menyajikannya secara negatif pula. Acap kali, penyajian berita mengabaikan kaidah jurnalistik.

Sementara itu Akhmad Munir mengemukakan, Jurnalisme Positif sebagai respon dari munculnya konten-konten yang menggiring pada mis-informasi yang banyak ditemui di media sosial.

"Inilah yang perlu kita perangi. Tugas media menyiarkan berita-berita yang memiliki unsur edukasi, menggerakkan, memberdayakan, serta menginspirasi masyarakat," lanjutnya.

Bad news = Jurnalisme Negatif?

Dari beberapa referensi dan diskusi yang menyebut istilah Jurnalisme Positif tersebut, kalau dirangkum istilah ini ternyata merujuk pada dua kondisi utama, yaitu:

  • Di mana jurnalisme menggunakan sudut pandang postif dalam pemberitaan
  • Keberpihakan media untuk menyajikan berita-berita baik atau good news alih-alih berfokus pada berita buruk atau bad news

Jadi, definisi positif atau negatif ternyata bukan pada "Jurnalisme"-nya, tapi pada produk jurnalistiknya, yaitu "Berita" yang fokus pada berita baik (positif) atau berita buruk (negatif).

Secara subyektif, saya menjadi lega. Karena menurut saya, jurnalisme seharusnya tidak pernah menjadi buruk.

Niat dan aktivitas jurnalisme atau kewartawanan selalu sama: mengimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa.

Untuk melakukan aktivitasnya tersebut, jurnalisme memberlakukan serangkaian mekanisme untuk memastikan nilai-nilai dasar maupun kualitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Inilah poinnya, soal tanggung jawab.

Aktivitas jurnalistik selalu bertanggung jawab. Padanya melekat kode etik.

Kini siapapun bisa memproduksi, menyunting, sekaligus menyebarkan informasi atau konten. Internet membuatnya semakin mudah. Sedangkan organisasi media tempat jurnalisme berlangsung selalu ada gate keeper yang membuat informasi harus melalui proses cek dan ricek sebelum terbit atau disiarkan.

Dengan kata lain, jurnalisme tidak akan sembarangan dan selalu memastikan informasi yang dihasilkannya setidaknya sudah diperiksa.

Pada 2001 terbit buku yang  fenomenal di kalangan mereka yang belajar atau bekerja di bidang jurnalistik. Judulnya "Sembilan Elemen Jurnalisme", ditulis oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Bagi yang belum pernah membaca, Anda bisa meluncur ke resensi komprehensif yang ditulis oleh Andreas Harsono di sini.

Mari singgung tiga saja elemen pertama dari buku tersebut.  Dari situ kita akan merasa makin janggal kalau jurnalisme itu ada yang buruk atau negatif.

Ketiga elemen pertama tersebut adalah: 1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran; 2. Loyalitas jurnalisme adalah pada masyarakat; 3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi.

Inilah yang dipegang oleh setiap jurnalis untuk menjaga kredibilitasnya.

Maka, dari sini kita bisa melihat esensi dari jurnalisme adalah menyampaikan kebenaran yang diverifikasi untuk  kepentingan warga atau masyarakat.

Melabelkan kata positif pada jurnalisme karena pemberitaan baik dan negatif karena pemberitaan peristiwa buruk, menurut saya dapat menggiring ke salah pengertian yang ngeri-ngeri sedap.

Jadi meskipun ia melakuan kritik terhadap sesuatu, sebut saja kinerja pemerintah, perilaku koruptif, peristiwa kriminalitas, tidak seharusnya ia disebut sedang melakukan aktivitas jurnalisme negatif, apalagi berniat jahat.

Karena saat itu dilakukan dengan standar jurnalisme yang ketat, tujuan pemberitaan tersebut adalah agar pihak-pihak berkepentingan merasa diawasi,  sehingga pada akhirnya akan bekerja dengan lebih baik lagi untuk kepentingan masyarakat.

"Pada awal pandemi COVID 19, media banyak melakukan pemberitaan kritis  terhadap penanganan pandemi oleh pemerintah. Karena pemberitaan-pemberitaan itu,  pemerintah bekerja lebih ekstra dan lebih baik lagi. Kini kita banyak mendengar, penanganan pandemi yang dilakukan oleh Indonesia dipandang sebagai salah satu yang terbaik di dunia," Arif Zulkifli mencontohkan.

Dari sini saja kita bisa menilai, apapun yang diberitakan dalam jurnalisme, sebenarnya tujuannya selalu baik (positif).

Persoalan Etika

Tapi bagaimanapun pelaku jurnalisme adalah manusia biasa juga.

Banyak jurnalis yang harus bekerja di bawah tekanan kondisi organisasi media yang tengah berjuang agar bisa  survive dan tetap eksis. Ini bisa menjadi celah bagi terjadinya pelanggaran disiplin dan etika.

"Pembenarannya" macam-macam.

Satu hal yang sering jadi dilema adalah tuntutan kecepatan versus akurasi. Ini terjadi saat teknologi dan media sosial makin memudahkan siapapun dalam mendapat dan menyebarkan informasi. Sehingga media merasa tidak boleh ketinggalan baik oleh media lainnya atau warganet. Caranya, harus secepat mungkin tayang.

Sepaket dengan kecepatan, di era berebut klik ini tuntutan berikutnya adalah mendapatkan perhatian. Maka di sinilah cara-cara tidak etis dilakukan. Paling sering misalnya dengan click bait yang mengedepankan sensasi.

Sehingga, sering kali verifikasi adalah hal yang tidak sempat atau tidak mau dilakukan. Informasi bisa ambil sana-sini, tambah teknik membuat judul bombastis, selipkan SEO di dalamnya, jadilah sebuah konten yang siap memancing perhatian banyak orang.        

"Tiap tahun Dewan Pers menangani sekitar 700 - 800 aduan terkait etika," tambah Arif Zulkifli.

Barangkali kalau harus menyebut istilah "Jurnalisme Negatif", yang seperti inilah jurnalisme negatif itu.

Tapi sekali lagi, bukan jurnalismenya yang negatif. Melainkan pelanggaran terhadap etika jurnalistik. Penyimpangan terhadap elemen-elemen dasar jurnalisme. Sehingga agar mudah, dilabelilah hal tersebut dengan Jurnalisme Negatif.

Ternyata meskipun kelihatan baik, membuat istilah Jurnalisme Positif memiliki konsekwensi yang kurang baik, yaitu harus ada definisi untuk Jurnalisme Negatif. Padahal, jurnalisme tidak pernah dibuat untuk tujuan yang negatif.

Lalu kalau kenyataannya di lapangan ada yang negatif gimana?

Usul, baiknya kita sebut saja itu bukan jurnalisme.

Wahyu Aji

Wahyu Aji

Wahyu Aji

Saat ini berperan sebagai CEO di GNFI. Interaksi dapat melalui aji@goodnews.id