Masa iya, kita hanya puas jadi penonton?

Masa iya, kita hanya puas jadi penonton?
Photo by Hiam Augustinho / Unsplash

Sewaktu masih sekolah, seorang guru kami yang sederhana pernah berpesan tentang kepenulisan. Beliau menyampaikan,

Bagi penulis, perasaan berdosa itu bukan karena apa yang pernah ditulisnya, tapi saat ia  lama meninggalkan kebiasaannya menulis

Saya yang masih remaja tak langsung dapat memahaminya saat itu. Baru belakangan, tepatnya beberapa tahun ini, pesan itu seperti menghantui. Tapi apa daya, hantu itu masih menjadi hantu sampai sekarang.

Dulu, menulis sempat menjadi kebiasaan. Menulis di jurnal pribadi berbentuk buku harian, saya lakukan sejak sekolah menengah. Mulai usia SMA, saya sudah menulis untuk majalah, surat kabar, blog maupun sekadar catatan di media sosial.  Apalagi ketika menjadi wartawan aktif, menulis adalah pekerjaan sehari-hari. Bahkan kewajiban. Karena kalau tidak menghasilkan tulisan, berarti saya dianggap tidak bekerja dengan baik.

Namun seiring bertambahnya kesibukan dan tanggung jawab, kebiasaan menulis itu pudar — mungkin lebih tepatnya merasa sibuk, meskipun sebenarnya sangat banyak tokoh yang jauh lebih sibuk tapi masih tetap menulis (salah satu yang saya sangat kagumi adalah Pak DIS, atau Dahlan Iskan).

Sebagai alibi, memang saya masih menulis maupun mencatat, tapi lebih banyak berupa konsep, ide, rencana, strategi, atau proposal. Dan jelas itu bukan sejenis artikel yang lazim untuk dibaca siapa saja.

Sementara itu, saat ini saya berada di tengah-tengah Good News From Indonesia. Bekerja bersama dengan rekan-rekan yang sangat hebat sekaligus rajin menuliskan apa saja yang dialami, dibaca, ditemui, maupun dirasakan. Sang Founder yang sekaligus sebagai Editor in Chief kami, Akhyari Hananto, setidaknya sudah menulis lebih dari 2.400 artikel di website GNFI. Ini belum termasuk di berbagai media lain. Padahal ia juga sangat sibuk dengan berbagai aktivitas nonkepenulisan.  Teman-teman kami lainnya juga tak kalah hebatnya, seperti Farah Fitriani Faruq (@farafit), Bagus Ramadhan (@BagusDRamadhan), Asrari Puadi (@asraripuadi), Imama Lavi Insani (@imalavins), dan masih banyak lagi. Mereka menulis ratusan artikel di GNFI, berdasarkan apa-apa yang mereka lihat, temui, atau alami dalam aktivitas keseharian.

Pada mereka inilah saya sangat iri. Ingin sekali seperti itu. Setidaknya kalaupun tidak bisa mengejar, minimal agar tidak terus-menerus merasa berdosa karena semakin lama meninggalkan kebiasaan menulis.

Setiap hari adalah lembaran halaman

Jalan seorang penulis adalah jalan kreativitas, di mana segenap penghayatannya terhadap setiap inci gerak kehidupan, dari setiap detik dalam hidupnya, ditumpahkan dengan jujur dan total, seperti setiap orang yang berusaha setia kepada hidup itu sendiri — satu-satunya hal yang membuat kita ada.

Saya sangat menyukai kalimat di atas, yang digoreskan mendalam oleh Seno Gumira Ajidarma pada bukunya yang terbit tahun 2009 lalu, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara.

Masih belum cukup, Seno menambahkan, “Belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan oleh manusia”.

Bisa termehek-mehek kalau saya baca ulang kalimat-kalimat di atas, karena merasa semakin jauh dari apa yang seharusnya bisa dilakukan tapi sudah lama ditinggalkan.

Saya percaya, menulis adalah proses mengamati, upaya untuk menjaga kesadaran — atau bahkan kewarasan.

Bukankah sebagai manusia yang diberi kesempatan beraktivitas, melihat, dan berpikir, setiap hari kita menyaksikan banyak hal? Apakah banyak hal tersebut hanya lewat di depan mata lalu tanpa sedikitpun ada yang bisa ”diikat"?

Bukankah setiap kita terjaga, berjalan, bepergian, banyak hal yang bisa kita amati? Ataukah semua yang lewat di depan mata tak lebih dari sekadar gambar-gambar tanpa makna? Sayang sekali bukan.

Kita tinggal di Indonesia, sekaligus sebagai penduduk dunia. Banyak dari kita yang berkesempatan berkeliling ke berbagai tempat di Indonesia maupun luar negeri, karena pekerjaan, belajar, berpelesir, atau keperluan lainnya. Apakah berbagai hal yang kita lihat atau alami tersebut hanya akan lewat begitu saja seperti menjadi penonton bioskop?

Memang tidak ada yang memaksa kita untuk menulis, merekam, atau memotret. Tapi siapa tahu apa yang kita lihat ini berguna untuk orang lain, bahkan bisa menginspirasi orang banyak.

Indonesia adalah negeri yang sangat komplit, sangat luas. Tapi belum setiap warga negaranya berkesempatan untuk mengenal banyak tentang negerinya. Bahkan mungkin ada yang belum pernah seumur hidupnya berkesempatan keluar pulau tempat ia tinggal. Sedangkan Anda, saya, kita, mungkin saja sudah lebih banyak menyinggahi banyak tempat, berjumpa dengan banyak orang, dan mendengar lebih banyak cerita.

Bukankah akan menjadi perbuatan yang sangat baik kalau kita menceritakan apa yang kita lihat, jumpai, ketahui tentang Indonesia itu kepada banyak orang lainnya?

Good News From Indonesia sama-sama kita bangun untuk tujuan itu. Mari berbagi informasi baik tentang Indonesia, ke sebanyak mungkin orang, ke segala penjuru.

Anda, saya, kita, semuanya bisa menyebarkan cerita itu. Alih-alih hanya sebagai penonton yang tahun depan sudah hampir pasti lupa cerita lengkap dari apa yang pernah kita tonton.

Salam hangat,
Wahyu Aji

***catatan ini setidaknya sedikit menebus rasa berdosa, sebelum (siapa tahu) membuat dosa lagi. Karena ternyata sudah tujuh bulan, sejak terakhir saya menulis di blog ini :)

Good News From Indonesia

Good News From Indonesia

Restoring Optimism, Rebuilding Confidence
Indonesia