3 Hal yang Perlu Dilakukan, Agar CEO tak lagi Menjadi Chief “EVERYTHING” Officer

3 Hal yang Perlu Dilakukan, Agar CEO tak lagi Menjadi Chief “EVERYTHING” Officer
Ilustrasi: @shutterstock

Pernah mengalami kondisi ini? Ada ide yang sangat bagus untuk dieksekusi. Misalnya program, produk, inisiatif, atau project. Tapi kita pusing karena tidak ada orang yang bisa melakukannya. Satu-satunya orang yang mungkin bisa, punya kapasitas, dan mau adalah kita. Ya, kita sendiri.

Orang lain mungkin saja bisa, tapi kita tidak melihat mereka punya kapasitas. Atau lebih pelik lagi, kalaupun bisa tapi mereka belum tentu mau mengerjakannya sebelum membuat perhitungan terlebih dulu.

Kondisi ini sangat mungkin terjadi di banyak organisasi. Apalagi di usaha rintisan. Itulah mengapa sampai ada plesetan istilah CEO. Bukan Chief Executive Officer, melainkan Chief “Everything” Officer. Karena sang pemimpinlah yang paling mungkin untuk  mengerjakan semuanya tanpa harus menghitung untung-rugi untuk pribadi di awal.

Hal ini perlu diatasi. Memang butuh proses dan kadang sulit. Tapi tetap harus diperbaiki. Karena apabila tidak, pertumbuhan dan keberlanjutan organisasi menjadi taruhannya. Organisasi bisa saja punya banyak orang, tapi setiap perlu mengeksekusi hal-hal baru, solusinya selalu mendatangkan orang baru dari luar.

Lalu bagaimana jalan keluarnya?

1. Bangun kultur leadership

Gaya kepemimpinan bisa saja berbeda-beda. Tapi setiap pemimpin biasanya punya naluri yang sama: membangun orang-orang di sekelilingnya. Lebih dari sekadar membangun kemampuan terkait dengan pekerjaan, tapi agar orang-orang dalam organisasinya juga tumbuh menjadi pemimpin.

Saat kita sedang memimpin tapi tidak punya naluri dan keinginan membangun tim menjadi individu-individu yang tumbuh karakter kepemimpinannya, jangan-jangan kita bukan pemimpin. Bisa jadi hanya bos.

Individu yang punya leadership skill tidak selalu harus langsung memiliki anggota tim.  Bisa saja ia masih harus bekerja sendirian dalam bidangnya. Karena kepemimpinan di sini bukan selalu soal struktur, tapi karakter.

Mereka yang memiliki karakter kepemimpinan selalu punya inisiatif, motivasinya kuat untuk menyelesaikan masalah atau tantangan, peduli terhadap sekitar, tidak segan untuk menawarkan bantuan, serta mampu melihat dampak dari apa yang sedang dikerjakannya untuk skala yang lebih luas.

Salah satu cara untuk menemukan orang seperti ini adalah dengan meciptakan tantangan-tantangan. Orang-orang dengan bakat kepemimpinan akan hadir dengan ide, Lebih dari itu, ia juga antusias untuk mencoba mengeksekusinya apabila diberi kesempatan. Ia juga selalu mencari cara yang paling efisien dan efektif untuk mendapatkan dampak maksimal bagi organisasi.

2. Ciptakan tranparansi

Suasana di mana informasi tidak cukup tersedia membuat orang-orang dalam organisasi seperti dalam gerbong minim pencahayaan. Masih bisa melihat, tapi samar-samar. Mereka tidak yakin organisasi sedang mengarah ke mana, apa yang menjadi target, dan sudah sampai mana kemajuannya.

Intinya, informasi harus cukup tersedia dan dibuat seterang mungkin. Perlu dibangun mekanisme agar semua orang dalam organisasi mengetahui tujuan, alasan dari setiap aktivitas, tantangan dan kemajuan-kemajuan yang dicapai organisasi (tentu saja, termasuk kendala-kendalanya). Ini akan lebih mudah ketika ukuran organisasi masih belum terlalu besar.

Di GNFI, kami sangat mengusahakan transparansi dapat terjadi. Salah satu ikhtiarnya adalah dengan bersama-sama menyusun Objective Key Result (OKR) perusahaan. Kemudian setiap pekan kami mengadakan weekly review di mana semua departemen menyampaikan udpate kemajuan. Ketika ada masalah pun, dapat disampaikan di forum ini.

Seluruhnya tercatat dan catatannya dapat dilihat kembali kapanpun oleh seluruh anggota tim. Sehingga kalau ada yang tidak tahu informasi, kemungkinan besar bukan karena informasinya tidak tersedia, tapi yang bersangkutan saja yang tidak tahu ada informasi itu.

3. Pola komunikasi yang terbuka

Sebagai pemimpin kita tidak lantas berlepas tangan ketika tim sudah mencoba mengambil tanggung jawab. Tapi juga bukan berarti menjadi sangat mengarahkan dan micro management.

Caranya, kita berperan sebagai mentor. Tempat mereka dapat berdiskkusi ketika sedang buntu. Kita juga menempatkan diri sebagai coach, yang selalu bersedia bersama-sama dengan mereka mengeksplor cara yang mungkin ditempuh untuk mengatasi persoalan.

Situasi ini tidak mungkin terjadi apabila komunikasi di organisasi tidak terbuka.

Transparan dan terbuka adalah dua hal yang berbeda. Bisa saja kita sudah merasa transparan, semua informasi tersedia, tapi semua bersifat satu arah.

Terbuka adalah kondisi di mana mendengarkan, berdiskusi, bertanya, menjawab, menyampaikan pendapat menjadi budaya di semua level organisasi. Dan budaya ini perlu dimulai dari pemimpin tertingginya yang pro terhadap keterbukaan.

Terakhir, saya sangat suka dengan kalimat yang ditulis oleh Tom Peters, Great leaders do not create followers, they create more leaders.

Bedanya jelas: pemimpin yang sukanya punya banyak pengikut, cenderung senang kalau pengikutnya patuh, tidak menentang, dan selalu  memuji dirinya. Sementara pemimpin yang tujuannya adalah menciptakan pemimpin-pemimpin baru di sekitarnya akan sangat senang ketika dikelilingi orang yang berani menyampaikan gagasan, memberi masukan, bahkan berani mendebatnya dengan argumentasi yang terukur.

Memiliki orang-orang dengan karakter kepemimpinan yang baik di sekitar kita akan dapat menciptakan perbedaan yang signifikan. Organisasi pun punya pondasi yang kokoh untuk tumbuh berkelanjutan.

Wahyu Aji

Wahyu Aji

Saat ini berperan sebagai CEO di GNFI. Interaksi dapat melalui aji@goodnews.id