Menjadi Viral? Atau Dibutuhkan?
Minggu lalu, saya diminta menjadi narasumber dalam acara media gathering sebuah badan negara.
Karena merasa "seguru seilmu", alih-alih berusaha mengajarkan sesuatu kepada sesama rekan jurnalis, saya memilih menyampaikan pemantik diskusi saja melalui materi berjudul "Tetap Menarik dengan Jurnalisme Positif".
Ada dua hal yang saya angkat dalam diskusi tersebut. Pertama, jurnalisme positif. Kedua tentang tantangan membuat informasi agar menarik di tengah persaingan sengit perkontenan saat ini.
Untuk Jurnalisme positif, kira-kira substansinya sama seperti artikel blog yang pernah saya tulis di sini. Jadi tidak saya ceritakan lagi.
Nah, yang menarik dan hangat dalam diskusi adalah tentang bagaimana media dapat tetap "menjadi menarik" dan diminati oleh khalayak.
Seorang rekan jurnalis jaringan radio nasional berbasis berita menyampaikan pengalamannya. Ia kerap mengalami pandangan sebelah mata dari khalayak maupun pengiklan dengan pertanyaan: Memangnya masih ada ya yang dengar radio?
Sementara itu, peserta lain yang jurnalis harian besar mengaku resah dengan fenomena viralitas. Viral menjadi obsesi banyak orang maupun organisasi yang memproduksi konten. Media pun sering kali akhirnya juga ikut membuat konten agar viral.
Tapi sayangnya, sambungnya, media tidak bisa sebebas individu atau siapapun dalam membuat informasi. Media memiliki berlapis peraturan, etika, hingga perundangan yang harus dipatuhi. Media dituntut menyajikan informasi yang benar dengan penuh bertanggung jawab. "Sedangkan influencer tidak," katanya. Di saat yang sama, keberadaan influencerini mulai mengambil alih porsi belanja iklan ke media resmi.
Saya sungguh bisa merasakan kegalauan sesama pegiat media tersebut. Situasi yang dihadapi industri ini sering kali tidak mudah. Apalagi saat ini.
Tapi saya meyakini, sebagaimana organisasi apapun, mereka yang bisa terus tumbuh adalah yang selalu bisa memperbarui diri agar selalu relevan dengan jaman.
Mirip seperti kebutuhan terhadap makanan. Masyarakat akan selalu membutuhkan informasi. Hanya saja cara mencarinya yang berbeda, cara mengonsumsinya yang tidak lagi sama seperti dulu. Mediumnya juga terus berevolusi. Proses perubahan ini belum akan berhenti.
Karena itu, saat media ditinggalkan oleh masyarakat pendengar, pembaca, pemirsa, atau pelanggannya, bukan berarti masyarakat tidak lagi membutuhkan informasi. Mereka tetap mengonsumsi informasi. Hanya saja, pilihan jenis dan caranya kini sangat beragam.
Saat ini media tidak hanya bersaing dengan sesama media. Tapi bersaing dengan siapapun. Karena siapa saja bisa memproduksi dan menyebarkan informasi atau kontennya sendiri.
Menjadi yang dibutuhkan, Bukan Semata-mata Viral
Baiklah, kita geser dari situasi ruang diskusi minggu lalu yang menjadi hangat karena berubah menjadi ajang curah kegelisahan.
Soal viral, ini memang paling sering dibahas dan ditanyakan.
GNFI pun sering mendapat pertanyaan bagaimana cara membuat konten agar viral? Pertanyaan ini datang dari anak-anak muda, organisasi, perusahaan, bahkan instansi pemerintahan. Seakan sebuah informasi menyebar seperti virus itu perlu dikuasai shortcut-nya.
Padahal, kalau mau viral aslinya gampang. Bikin saja sesuatu yang aneh, janggal, kontroversial.
Kasus promosi minuman yang dilakukan oleh Holywings yang tengah heboh beberapa hari ini saya kira adalah contoh jelas. Bahwa untuk viral itu sama sekali tidak sulit.
Bahkan kadang ia seperti melempar api kecil di tumpukan jerami kering. Apinya cepat membesar sampai tak bisa dikendalikan oleh si pembuat gara-gara. Tapi rasanya, bukan viral seperti ini kan yang kita mau?
Karena itu, dari pada mengejar viral, bagi para kreator konten termasuk media, ada baiknya kita fokus pada konten yang memang dibutuhkan oleh khalayak.
BBC pernah merangkumkan jenis-jenis kebutuhan masyarakat terhadap informasi. Di mana setiap berbeda kebutuhan, seharusnya berbeda pula jenis konten untuk mendekati mereka. Model BBC ini dinamai user need model.
Singkatnya, ada enam jenis informasi untuk memenuhi enam kebutuhan "user":
- Update me.
Biasanya adalah informasi yang menyajikan fakta. Menjawab pertanyaan, "Apa yang terjadi?", "Bagaimana detilnya?". Format yang sering digunakan adalah 5W+1H.
2. Keep me on trend
Seringnya terkait dengan apa yang sedang tren di media sosial. Media biasanya mengangkat "Apa yang orang katakan di media sosial terkait sebuah isu atau kejadian?"
Sering kan melihat yang sepeti ini? Dan ternyata kebutuhan publik untuk mengikuti tren juga besar. Biasanya karena dua alasan: 1. Ingin punya bahan ketika sewaktu-waktu terlibat dalam percakapan tentang topik tersebut; 2. Memahami alasan di balik sebuah hastag tertentu bisa muncul di media sosial.
3. Give me perspective
Tidak semua orang dapat langsung memahami bagaimana sebuah kejadian berdampak bagi mereka. Apa manfaatnya untuk mereka? Sisi ini biasanya diisi oleh pendapat dari pengamat, pakar, atau narasumber dari berbagai sisi.
4. Educate me
Informasi jenis ini sering kali bisa menjadi konten yang tahan lama atau evergreen. Jenis konten ini antara lain tentang Bagaimana caranya atau How to; Berisi daftar sesuatu; Tanya jawab satu topik atau Q & A; sampai menjelaskan sebuah proses.
5. Inspire me
Orang biasanya suka sesuatu yang menginspirasi. Tentang bagaimana ada orang yang berjuang mengatasi persoalan tertentu, mencapai sesuatu, atau melakukan hal-hal yang berdampak baik pada orang banyak. Dalam jurnalisme, konten ini kadang disebut sebagai "Jurnalisme Solusi".
6. Divert me
Tidak semua orang suka terus-menerus mengonsumsi sesuatu yang serius. Sesekali perlu "dialihkan" ke sesuatu yang membuat tergelitik. Sesuatu yang mengejutkan, lucu, atau kadang receh. Meskipun itu sebenarnya masih menyangkut sesuatu yang serius.
Itulah enam "kebutuhan user" sekaligus enam jenis konten untuk mereka. Satu topik bisa didekati sekaligus dengan keenamnya.
Misalnya, beberapa waktu lalu publik dikejutkan dengan tenggelam dan meninggalnya putera Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Emmeril Khan Mumtaz, di Sungat Aare, Swiss.
Pada saat berita baru muncul, publik bertanya-tanya bagaimana kejadiannya? Bersama siapa saja? Sedang apa di Swiss? Seperti apa proses pencariannya? dan seterusnya hingga jenazah ditemukan, dibawa pulang ke Indoensia, dan dimakamkan di Kabupaten Bandung. Setiap update beritanya selalu ditunggu oleh publik. Di sinilah hardnews sangat dinanti-nanti.
Saat perhatian publik begitu besar, percakapan di media sosial tentang peristiwa ini pun mengalami peningkatan. Ada banyak hal menarik bisa dikutip dari sana.
Dan ternyata perhatian yang sangat besar ini pun bisa dianalisis dari berbagai perspektif. Maka komentar analis, pakar, pengamat atau bahkan orang biasa yang dianggap mewakili pendapat masyarakat pun bisa diangkat untuk menambahkan perspektif dari satu peristiwa.
Kecelakaan putra Gubernur inipun dapat dijadikan pelajaran bagi publik, apalagi banyak sungai dan destinasi wisata berbasis air di Indonesia. Sehingga muncul juga konten tentang bagaimana saat mengalami situasi tak terduga ketika berada di sungai atau obyek wisata air.
Ternyata juga banyak sisi menarik dari sosok Emmeril. Kepedulian sosialnya, inisiatif, kreatifitas, dan sisi-sisi lain yang selama ini tidak terlihat menjadi menarik untuk diangkat untuk menjadi inspirasi.
Meskipun suasana sedang berduka dan genting, ternyata masih ada hal-hal "unik" yang muncul. Hal ini pun juga bisa diangkat, seperti pada pada cerita ini di berita ini: https://www.tvonenews.com/daerah/jabar/47131-cerita-ridwan-kamil-malah-dapat-ucapan-selamat-lebaran-dan-dikira-halal-bihalal-saat-pemakaman-eril-netizen-kudu-terharu-apa-ketawa-nih
Seperti itulah kira-kira. Satu topik bisa dibuat berita atau ceritanya dengan enam pendekatan.
Cara ini relatif berguna bagi siapapun yang ingin mengembangkan ide, membangun cerita, dan menyajikan informasi. Tentu saja, termasuk bagi media. Kami pun di GNFI juga melakukannya.
Dan soal viral. Sebenarnya mayoritas konten viral umurnya sangat pendek. Mendadak booming kemudian sirna, lalu orang lupa.
Konten seperti ini bukan tujuan kami.