Agar WFH/WFA Semakin Bebas Drama

Agar WFH/WFA Semakin Bebas Drama
ilustrasi @shutterstock

Belakangan ini saya cukup sering mendapatkan pertanyaan seputar bagaimana cara tim GNFI bekerja. Terutama terkait dengan pola "bekerja dari mana saja"  atau work form anywhere yang sudah kami lakuan secara total.  

Tentang latar belakang fully remote working yang GNFI lakukan dan apa saja manfaat yang kami rasakan, saya sudah pernah menuliskannya di sini.

WFH, WFA, atau remote working sebenarnya sama sekali bukan hal baru. Saya sudah lama mengenal teman-teman yang bekerja dengan cara seperti ini.  Tapi dulu ia hanya sebagai opsi alternatif. Opsi utamanya tetap bekerja di kantor.

Kini kondisi sudah berubah. Orang makin bisa mengerti bahwa ngantor dan kerja tak selalu sama. Karena nyatanya kerja tidak harus di kantor.  

Tapi apakah dengan tidak berkantor bekerja dijamin akan selalu lebih menyenangkan? Nah ini dia. Kita bisa membuat daftar panjang plus minusnya. Anda pun pasti punya pendapat sendiri.

Tapi seiring WFH atau WFA menjadi pilihan banyak perusahaan, pertanyaan umumnya saat ini bukan lagi menyenangkan atau tidak. Melainkan sesuatu yang lebih teknis:

Apa tantangan tersulit WFA? Bagaiman cara menggantikan bonding yang biasanya lebih efektif kalau ada interaksi langsung di kantor? Apa kiat agar berhasil menerapkannya? Inilah tiga paling banyak yang sering saya dengar.

Asinkron

Baik. Pertama, kehilangan paling signifikan ketika tidak lagi bekerja dalam satu tempat dan waktu yang sama adalah pertemuan fisik.

Padahal, pertemuan secara fisik dan langsung harus diakui biasanya menghasilkan sesuatu yang lebih baik dibandingkan bertemu secara virtual. Sama-sama 30 atau 60 menit, beda efektifitasnya. Belum lagi kalau bicara efek psikologis yang dihasilkan.

Ruang meeting yang meriah, coretan di papan tulis, kertas kerja berhamburan di  meja, saling komentar, emosi yang terpancar, melihat ekspresi. Kini tidak ada lagi. Karena yang kita hadapi adalah layar pribadi.

Karena itulah sesekali pertemuan fisik tetap diperlukan. Sifatnya memang  menjadi pelengkap dari pertemuan-pertemuan virtual. Tapi ketika ada kesempatan, jangan dilewatkan. Saya melakukannya ketika ke luar kota dan kebetulan di kota tersebut ada rekan karyawan GNFI yang bekerja dari sana atau dekat sana.  

Sekarang, 99% - 100% waktu kami bekerja di GNFI dilakukan secara virtual. Melalui perantara internet dan alat-alat telekomunikasi bergerak.

Di sinilah kami beradaptasi dengan pola kerja asinkron. Asinkron adalah saat komunikasi dilakukan melalui perantara alat, sehingga pesan yang dibuat atau dikirim tidak seketika digunakan atau mendapat respon dari penerimanya. Ada sekian waktu jeda atau tunda karena posisi masing-masing yang berbeda.

Paling sederhana, ketika mengirim pesan WA bisa jadi dibalasnya beberapa menit bahkan jam berikutnya. Belum lagi kalau pesannya tertumpuk, bisa lebih lama.

Tentu saja saat sesuatu yang urgent butuh respon cepat, cara yang paling sering kami lakukan adalah langsung bertelepon. Biasanya ini pun dengan bertanya terlebih dulu apakah sedang bisa ditelepon. Atau membuat janji untuk melakukan virtual meeting.

Karena tim bisa bekerja dari manapun. Mereka mengatur waktu, tempat, dan keleluasaannya sendiri untuk bekerja. Kadang agenda pekerjaan juga harus beririsan dengan agenda rumah, keluarga, pasangan, anak, atau lainnya.

Sehingga sering kami jumpai, dalam meeting tapi salah satu pesertanya sambil di jalan, antri di dokter gigi, menemani orang tua ke pasar, atau antar anak sekolah. Kadang malah sambil mengantar anak liburan.

Ketika tidak mengajukan cuti,  semua tetap dalam status sedang bekerja. Sehingga selama masih mungkin, mereka bisa bergabung sambil melakukan aktivitas tersebut. Kalau memang tidak memungkinkan, kami pun masih bisa geser beberapa menit, menunggu situasi lebih memungkinkan.

Awalnya mungkin ada yang merasa organisasi jadi kurang tegas menghadapi karyawan yang melakukan aktivitas pribadi saat bekerja. Tapi itulah konsekwensi WFA. Menurut saya, bukan peraturan yang harus diperketat dan diperumit sehingga setiap orang bisa fokus pada pekerjaannya, tapi iklim supportif dan terukur yang harus dibangun. Ini akan membuat setiap individu semakin mampu menyesuaikan dengan gerak perusahaan. Soal cara kerjanya dan dari mana saja, mereka sendiri yang memilih.

Terbuka

Iklim supportif berangkat dari sini: transparan dan terbuka. Sebagian mungkin masih menganggap sama antara transparan dan terbuka. Padahal berbeda.

Transparan mengacu pada kondisi di mana kita menyediakan informasi yang sangat cukup. Kalau bisa, apapun informasinya tersedia. Tentang obyektif perusahaan, target-target, proyek, agenda, sistem kerja, aturan-aturan, hak dan kewajiban.

Seminimal mungkin yang menjadi rahasia.  Tujuannya agar semua orang dalam perusahaan tahu perusahaannya sedang ngapain dan mau ke mana. Semua orang bisa memanfaatkan informasi itu untuk memudahkannya dalam bekerja.

Memang tidak mudah menjadi transparan. Tapi berusaha menutup-nutupi apapun menurut kami jauh lebih melelahkan. Transparan akan menyediakan jawaban bagi siapapun yang perlu tahu tentang sesuatu, dan itu menghemat waktu untuk menjelaskan panjang lebar ke setiap orang yang bertanya tentang hal yang sama.

Mungkin belum semuanya sudah sangat jelas, tapi kami terus berupaya membuat semuanya sejelas mungkin bagi siapapun.

Setiap kali ada kasus atau pertanyaan tertentu yang baru muncul, kami akan cek apakah informasi tentang hal itu belum cukup tersedia atau masih abu-abu sehingga tim masih bingung? Kalau iya, harus sesegera mungkin kami buat jelas.  Dibuat dalam sebuah dokumen yang bisa diakses oleh siapapun yang memerlukan.

Ternyata transparan sangat diperlukan apalagi saat semua orang nyaris tidak pernah ketemu fisik. Informasi yang cukup dan bisa diakses siapapun dan kapan saja sangat diperlukan. Agar setiap orang bisa cepat "nyambung" dan tidak loading lama-lama gara-gara merasa tidak tahu apa-apa.

Transparan juga membebaskan organisasi dari drama, yang biasanya ditandai dengan kalimat "Lhoo ... aku kok tidak tahu tentang ini?". Biasanya tidak banyak yang bertanya seperti ini, tapi  ketika ada yang bertanya demikian bisa langsung membuat suasana jadi tidak enak.  

Lalu apa bedanya transparan dengan terbuka? Terbuka adalah sikap yang lebih maju lagi dari transparan.

Transparan bisa saja searah. Misalnya manajemen transparan ke seluruh tim di perusahaan, leader ke anggotanya. Ringkasnya, satu pihak "membanjiri" informasi kepada pihak lainnya.

Sementara itu, terbuka menuntut kesiapan untuk tidak saja menyediakan informasi. Tapi juga kesanggupan dan perilaku untuk menerima umpan balik.

Nah, kalau ada yang tanya soal bonding, kami merasakan kondisi transparan dan terbuka inilah yang bisa jadi perekat bonding.

Ada banyak metode untuk membuat kita dapat menjaga dan membiasakan diri dengan atmosfer keterbukaan. Salah satu yang kami lakukan adalah dengan menggunakan OKR (Objective - Key Result).

Dengan OKR, setiap orang dalam organisasi mau tak mau terlibat dalam beride, mempertajam, menyusun, dan menentukan tujuan yang hendak dicapai oleh perusahaan. Sekaligus memikirkan cara-cara untuk mencapainya.

Ketika setiap orang di organisasi tahu organisasinya sedang mengarah ke mana, mengapa harus ke sana, dan ikut dalam menentukan apa saja yang mau dilakukan, persaaan terlibat akan semakin tumbuh.

Mau dan mampu menerima umpan balik juga kami lakukan dengan sesi 1 on 1. Sebagai CEO, dalam sebulan biasanya saya selalu ada jadwal berbincang empat mata dengan beberapa teman-teman di GNFI.

Melalu google meet atau zoom,  di sana saya lebih banyak menyimak cerita, pertanyaan, atau apapun yang mereka sampaikan. Saya pastikan mereka aman untuk  menyampaikan apapun, tidak akan ada yang tersinggung. Ada pula yang sifatnya konsultasi, atau keluhan yang perlu saya jelaskan. Tidak apa-apa.

Sesi 1 on 1 tersebut  kadang juga memunculkan ide-ide yang perlu untuk ditindaklanjuti.  Ini kami anggap sebagai bonus.

Bagaimana kalau masih saja ada yang belum merasa terlibat dan tidak tahu apa-apa tentang yang sedang dilakukan perusahaan? Kalau transparan dan terbuka sudah dilakukan dengan sungguh-sungguh,  yang seperti ini biasanya jumlahnya akan semakin sedikit. Sehingga bisa ditangani secara lebih personal. Di GNFI, hal seperti ini akan ditangani oleh teman-teman di People Development.      

Saya tidak mengklaim apa yang kami lakukan di GNFI sudah berhasil. Dan pasti berhasil untuk diterapkan di organisasi lain. Kita semua dalam proses  belajar terus-menerus. Mengadopsi cara-cara terbaik,  melakukan evaluasi, memodifikasi, sampai menemukan yang pas. Apakah yang pas itu akan terkunci secara permanen? Kita tahu kondisi sangat dinamis. Agak gegabah kalau menganggap cara saat ini sudah paling benar dan harus kita kunci rapat-rapat agar tidak berubah.

Anda punya pendapat atau jawaban lain? Akan menyenangkan kalau kita bisa saling berbagi.  

Wahyu Aji

Wahyu Aji

Saat ini berperan sebagai CEO di GNFI. Interaksi dapat melalui aji@goodnews.id